Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Belajar Ikhlas dari Zohri

Nama Lalu Muhammad Zohri sontak dikenal seantero Indonesia juga dunia. Pelari 18 tahun asal Lombok, NTB yang baru saja menjadi juara dunia atletik untuk nomor 100 M putera di Finlandia itu juga langsung viral di dunia maya. Zohri membuat nama Indonesia kembali membahana di cabang atletik sejak terakhir 1986. Tak pelak, dari artis, menteri, anggota DPR, gubernur sampai Presiden mengelu-elukan nama pemuda sederhana yang sedang duduk di bangku SMA tersebut. Semua berlomba-lomba memberi bonus. Maaf 'seakan' ingin dibilang peduli. Padahal sebagai atlet pelatnas kabarnya dia sempat tak mampu beli sepatu lari hanya seharga Rp 500rb. Sebelum menjadi juara dunia U 20 cabang lari 100 m pertama di Indonesia, Zohri bukan siapa-siapa. Meski ia tercatat sebagai salah satu atlet pelatnas cabang atletik Asian Games 2018 dan sering berprestasi. Nama Zohri sama sekali tak familiar. Apalagi cabang olahraga yang digelutinya bukan cabang favorit seperti sepakbola dan bulutangkis. Itu juga yan

doa itu adalah benda, yaitu gelombang energi quantum yang disebut pikiran dan perasaan dan keduanya merupakan kata benda...

....Aku dekat..Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku (QS.Al Baqarah :186) Saya sering bertanya dalam hati, kenapa kita harus repot berdoa dan dalam doa itu kita menjelaskan pada Tuhan apa yang kita mau? Bukankah Tuhan Mahatahu? Seharusnya aktivitas berdoa itu tidak perlu ada, karena tanpa kita berdoa meminta sesuatu, Tuhan sudah tahu apa yang kita inginkan. Sesederhana itu kan?  Seorang sahabat yang pernah saya ajak diskusi mengenai hal ini menertawakan dan mengatakan saya mungkin sudah gila karena telah mempertanyakan doa. Menurutnya mempertanyakan doa sama dengan mempertanyakan keberadaan Tuhan. Saya mau jadi atheis, begitu tuduhnya. Seolah tak ingin saya jadi ‘tersesat’ sahabat saya itu lantas menjelaskan, doa itu cara manusia ‘bermesraan’ dengan Tuhannya. Sekaligus aktivitas yang mengingatkan manusia bahwa dia hanyalah hamba yang penuh kelemahan dan kepada Tuhan kemudian dia meminta kekuatan. Tapi ‘penasaran’ saya tentang doa tak juga ter

Dalam banyak hal sesungguhnya Tuhan tidak hanya memberi perintah, tetapi mengajak manusia berdiskusi, agar manusia memproses pemikirannya kemudian mengambil keputusan sendiri dengan akalnya. Artinya, poligami harus ada latar belakangnya, ada pertimbangan-pertimbangannya.

Poligami dalam Istriku Seribu           Bahasan tentang poligami selalu menarik untuk diperbincangkan. Tidak hanya dari sisi agama tapi juga sosial. Dalih menjalankan syariat agama masih menjadi alasan klasik yang sering dipakai para pelaku poligami untuk ‘melegalkan’ pilihannya. Ya, poligami memang halal. Diperbolehkan. Tapi apa dengan membuat perempuan   ‘merasa’ tak berdaya dan harus pasrah menjalani perintah Tuhan. Dari sekian banyak buku tentang poligami, karya Emha Ainun Nadjib   “Istriku Seribu” layak menjadi salah satu referensi. Kumpulan esai   98 halaman pria yang akrab disapa Cak Nun ini, menjabarkan poligami dengan cara yang unik, ringan, tapi juga cerdas.   Berbeda dengan kumpulan esai Cak Nun lainnya yang cenderung ‘galak’, pada   “Istriku Seribu”   ramuan tulisan Cak Nun terasa lembut dan penuh cinta.   Suami Novia Kolopaking ini juga mengambil sikap netral dengan menjabarkan poligami dari sisi pendapat semua golongan,   baik itu yang menerima maupun yang a