Dalam banyak hal sesungguhnya Tuhan tidak hanya memberi perintah, tetapi mengajak manusia berdiskusi, agar manusia memproses pemikirannya kemudian mengambil keputusan sendiri dengan akalnya. Artinya, poligami harus ada latar belakangnya, ada pertimbangan-pertimbangannya.
Poligami dalam Istriku Seribu
Bahasan tentang
poligami selalu menarik untuk diperbincangkan. Tidak hanya dari sisi agama tapi
juga sosial. Dalih menjalankan syariat agama masih menjadi alasan klasik yang
sering dipakai para pelaku poligami untuk ‘melegalkan’ pilihannya. Ya, poligami
memang halal. Diperbolehkan. Tapi apa dengan membuat perempuan ‘merasa’ tak berdaya dan harus pasrah
menjalani perintah Tuhan.
Dari sekian banyak buku tentang
poligami, karya Emha Ainun Nadjib “Istriku
Seribu” layak menjadi salah satu referensi. Kumpulan esai 98 halaman pria yang akrab disapa Cak Nun
ini, menjabarkan poligami dengan cara yang unik, ringan, tapi juga cerdas.
Berbeda dengan kumpulan esai Cak Nun
lainnya yang cenderung ‘galak’, pada “Istriku
Seribu” ramuan tulisan Cak Nun terasa
lembut dan penuh cinta. Suami Novia
Kolopaking ini juga mengambil sikap netral dengan menjabarkan poligami dari sisi
pendapat semua golongan, baik itu yang
menerima maupun yang anti. Termasuk juga golongan yang tidak berpihak.
Dalam buku terbitan Bentang Pusaka
ini, Cak Nun mengajak pembaca untuk berpikir
serta melihat permasalahan poligami dengan utuh. Tidak hanya dari sisi agama,
tapi juga sejarah, landasan hukum, ideologi serta filosofinya. Dan tidak melulu karena masalah
nafsu.
Esai-esai yang ada dalam buku ini juga memiliki judul sendiri-sendiri. Tapi Cak Nun dengan cerdik membuat esai-esai itu menjadi satu
kesatuan, sehingga pembaca mampu mencerna pelajaran dalam setiap kisahnya.
Termasuk dialektikanya bersama Kiai Sudrun.
Pada bab awal buku yang sedianya
berjudul “Poligami, Monopoligami, Nopomimogali” Cak Nun menjabarkan poligami
dengan melakukan pendekatan dari kritik terhadap agama dulu. Dan tidak langsung
masuk pada persoalan hak asasi antara
lelaki dan perempuan.
Ayah dari vokalis band Letto ini membongkar
nalar Islam klasik yang konservatif dan konvensional di kalangan agamawan. Tapi
kemudian juga memberi penyegaran
terhadap paham keagamaan itu sendiri.
Bahkan sebelum membahas poligami dengan lebih
mendalam, Cak Nun lebih dahulu masuk
dengan menggolongkan istri itu secara ar-Rahman (Cinta meluas, horisontal, keluar)
dan ar-Rahim (cinta kedalam, cinta vertikal,
cinta personal). Seperti pada Kanjeng
Nabi, istri ar -Rahimnya adalah Khadijah. Selepas
Khadijah wafat, Aisyah menjadi istri ar-Rahim Kanjeng Nabi sementara istri-istri lainnya menjadi istri ar-
Rahman. Istri yang diambil karena dan berdasar pada pertimbangan-pertimbangan
sosial: banyaknya janda-janda
peperangan, sejumlah wanita teraniaya, jumlah tak seimbang antara laki-laki
dan perempuan. Ini menarik, Cak Nun menggali esensi poligami dengan
intelektualitas tinggi bukan keberpihakan.
Batas
Ayat yang lazim dijadikan landasan
adalah surat An-nisa ayat 3 juga tidak langsung diterjemahkan Cak Nun dengan
mentah. Pria asli Jombang ini mencoba mengaitkan teks dengan konteks. Dengan ayat itu, Cak Nun mengajak kaum laki-laki
terlebih dahulu memetakan batasan dan perintah Tuhan tentang poligami yang
sesungguhnya. Misalnya, tentang nikahilah perempuan yang kamu sukai
dua, tiga, atau empat. Tetapi kalau kamu takut tidak berlaku adil, maka
kawinilah seorang saja.
Dari teks ini Cak Nun mengajak pembaca untuk melihat
realitas yang ada yaitu keadaan dimana mereka berpoligami tanpa batas. Seperti
yang dilakukan para lelaki pada jaman sebelum Kanjeng Nabi mengantarkan ajaran
Allah.
Saat itu menurut Cak Nun, lelaki
meletakkan wanita sebagai barang atau aksesori berlian atau budak. Apabila
lelaki itu kaya maka ia dapat mengawini ratusan wanita. Dan wanita itu boleh dianiaya, direndahkan derajatnya, diambil
dan dibuang sesuka hatinya. Cak Nun
sampai menyamakan lelaki beristri banyak kala itu dengan katak jantan yang bisa
mengawini ratusan katak betina.
Hal inilah yang kemudian dijelaskan Cak Nun, membuat
Allah lantas melakukan revolusi. Dari fakta ratusan istri diradikalkan menjadi
paling banyak empat istri, dengan peringatan keras jangan mengeksploitasi
mereka dalam hal apapun.
Maka dalam hal ini bukan berarti
agama menyuruh untuk poligami, tetapi yang terjadi sedang memotret realitas.
Dan kemudian sindiran itu keluar di ujung ayat tersebut yang berbunyi, “Kalau
kamu tidak bisa berlaku adil ya satu saja” Bahkan kemudian ditegaskan lagi, “Tidaklah
engkau (wahai lelaki) sesekali akan pernah mampu berbuat adil”(QS. An- Nisa 4:129). Sebetulnya kata-kata itu
adalah inti sindiran yang menegaskan realitas poligami.
Sayangnya hal ini kemudian ‘seringkali’ dilupakan.
Segala sesuatunya di-stop begitu
saja dan dilegitimasi bahwa syariat Islam memperkenankan hal itu, seolah tidak
ada dimensi yang perlu dipertimbangkan. Kemudian, seluruh dunia
terutama yang anti islam beranggapan dan menjustifikasi islam adalah agama yang
tidak adil terutama untuk wanita karena memperbolehkan lelaki kawin empat.
(hal. 84-86).
Dalam bab esai berikutnya “Tuhan
Mengajak Berdiskusi” Cak Nun kembali menjelaskan bahwa Tuhan tidak hanya
memberi batasan dan perintah. Tuhan meminta manusia menyikapi layaknya makhluk
yang sudah dibekali oleh-Nya dengan alat canggih yang namanya akal. Maka dalam banyak hal sesungguhnya Tuhan tidak
hanya memberi perintah, tetapi mengajak manusia berdiskusi, agar manusia
memproses pemikirannya kemudian mengambil keputusan sendiri dengan akalnya. Artinya, poligami harus ada latar belakangnya, ada
pertimbangan-pertimbangannya.
Cak Nun kemudian mengumpamakan bila ada kalimat ‘makanlah
daging anjing ini’ tidak bisa
berdiri sendiri dan diartikan sebagai pembolehan makan daging anjing. Sebab,
kalimat itu diawali oleh keadaan darurat ketika tidak ada apapun yang bisa
dimakan selain hanya beberapa potong daging anjing. Sebagaimana kebolehan
berwudu dengan usapan debu atau tayamum, itu tidak berdiri sendiri , melainkan
dipersyarati oleh ketidakmungkinan mendapatkan air.
Maka, kawin empat itu
seharusnya juga berangkat dari prasyarat-prasyarat sosial. Kawin empat, kalau
terpaksa dilakukan harus dengan kematangan akal dan rasa kalbu kemanusiaan,
tidak hanya atas pertimbangan individu. Ia memiliki konteks sosial. Ia bukan
merupakan hak individu, melainkan kewajiban sosial. Kewajiban adalah sesuatu
yang 'terpaksa' atau wajib kita lakukan, senang atau tidak senang. Karena
masalahnya tidak terletak pada selera, kenikmatan atau kemauan pribadi,
melainkan pada kemaslahatan bersama.
Engkau menjadi manusia
yang tidak tahu diri kalau Tuhan mengatakan, 'kalau engkau takut tak bisa
berbuat adil...' lantas engkau bersombong menjawab kepada Tuhan, 'Aku
bisa kok berbuat adil', kemudian ambil perempuan jadi istri keduamu. Bahkan
engkau nyatakan 'Aku ingin memberi contoh poligami yang baik'-seolah-olah
Tuhan tidak membekalimu dengan akal dan rasa kalbu kemanusiaan. (hal. 88-90).
Dan dari semua itu,
dalam "Istriku Seribu", Cak Nun mengajak kita untuk senantiasa memproses pemikiran dengan akal dan rasa kalbu
kemanusiaan. Cak Nun juga menjelaskan meski di dalam islam setiap orang berhak menafsirkan dan bertanggungjawab atas
keputusan yang dia ambil berdasarkan tafsir yang dibuatnya itu sendiri. Dan
tidak ada hak sama sekali bagi siapa saja untuk memaksa orang lain mengikuti
tafsirnya. Baik untuk berpoligami maupun sebaliknya.
Namun Cak Nun tetap berpesan bahwa banyak
hal-hal yang harus dipahami terlebih dahulu dalam memaknai satu dan sekian
banyak ayat-ayat Tuhan. Termasuk implikasi sosio-historisnya dalam konteks
kehidupan berkeluarga.
Melalui buku ini Cak
Nun juga ingin mengungkapkan dirinya tidak anti poligami, meski dengan tegas ia
kembali mengingatkan tentang syarat utama dari Tuhan tentang poligami. Satu hal
yang sering manusia abaikan; bahwa apa kita yakin bisa dan mampu berlaku adil.
Sedang, Tuhan-yang menciptakan manusia-sangatlah paham, bahwa ciptaannya itu
takkan mampu berbuat demikian. *
Judul
: Istriku Seribu
Penulis :
Emha Ainun Najib
ISBN
: 978-602-291-117-3
Terbit
: Agustus 2015
Ukuran : 18 cm
Halaman : 98
Penerbit : Bentang Pustaka
Komentar
Posting Komentar