“Kau tahu mungkin akan ada saatnya nanti.Kau berjalan menuju rumah dengan bayangan sebagai pasangan setia. Bila saat itu tiba jangan berusaha mengingatku. Sebab jatuh cinta padamu cukup sekali. Dan kini sudah berakhir,”
“Maafkan
aku untuk akhir yang begini. Aku tahu ini melukaimu. Tapi aku akan semakin
melukaimu jika kita memaksa untuk tetap bersama. Kau pasti bisa menemukan yang
lebih baik dari aku,” ucapmu setahun lalu.Ketika kau memilih melepaskan aku dan
memilih menggenggam tangan wanita lain. Kata-katamu saat itu masih tergiang jelas
di telingaku. Bahkan saat aku memohon untuk tetap tinggal, kau tak berrgeming.
Kau tahu, semestinya saat itu yang terjadi
adalah moment kebahagiaan. Karena kembalinya kau setelah sekian lama
menghilang. Kau harusnya datang dengan kotak berisi cincin di dalamnya,
merancang sebuah makan malam romantis kemudian di tengah acara itu kau melafalkan
kata-kata puitis lalu melamarku.
Tapi
yang kau hadiahkan malah kepedihan. Kau menempuh jarak ribuan kilometer,
menumpang burung besi hanya untuk mengatakan bahwa kau tak mampu lagi meneruskan
perjalanan kita.”Pembohong,” makiku dalam hati.
Dan
kini setelah aku mampu menyembuhkan semua luka itu. Aku kembali harus bertemu
denganmu. Laki-laki yang sempat membuatku membenci dan tak percaya akan cinta. Karena setelah semua di
antara kita berakhir, kau adalah orang yang tak pernah ingin kutemui sepanjang
hidupku.
Tapi
Tuhan yang berkompromi dengan semesta seperti ingin mempermainkan hatiku. Semua
gara-gara penugasan dari atasanku. Seharusnya bukan aku yang ia pilih untuk
meliput kejuaraan panjat tebing tingkat dunia itu. Karena itu tidak masuk dalam
desk (departemen) di media tempatku bekerja.
Namun
dengan alasan seorang wartawan yang baik tidak boleh menolak tugas, mau tidak
mau aku menyetujui tugas menyebalkan itu. Seandainya aku bisa memilih, lebih
baik aku meliput ke medan perang ketimbang bertemu denganmu di sana. Ya,sebab
kamu adalah ketua panitia pada acara tersebut. Sehingga mau tidak mau, suka
tidak suka. Kamu menjadi orang yang akan sering ku wawancarai.”Damnnnn,”
rutukku dalam hati. Semestinya aku
bahagia, akan meliput di pantai dengan pemandangan luar biasa seperti Pantai
Siung di Gunung kidul, Yogyakarta. Tapi yang kurasakan malah sebaliknya. Dengan
malas-malasan, aku memasukkan pakaian, dan berbagai alat yang akan kugunakan di
sana.
Tok..tok.. terdengar bunyi
seseorang mengetuk pintu kamarku.”Masuk,”seruku mempersilakan.
”Masih
bête karena dapat tugas ke sana. Positif thinking aja lah, kan belum tentu dia
ketua panitianya,”ucap Dina, sahabat dan juga teman sekosku yang mengetahui
kegundahan hatiku.
”Aku
sih masih berharap keajaiban itu. Gimana bisa belum tentu, jelas di undangan
peliputan jelas-jelas ada namanya. Bahkan juga ada tanda tangannya, please deh
Din,”jawabku.
“Tapi
kan nama Andika Rahmat bukan hanya dia, nama itu pasaran La’,” analisis Dina
mencoba menghiburku. Ya memang tidak salah, nama seperti itu memang bukan hanya
kamu di Indonesia ini. Tapi tanda tangan itu, aku yakin anak kembar sekalipun tidak akan memiliki
tanda tangan yang sama persis, bukan? Seruku dalam hati.
“Tapi
kalau itu memang Dika, ya ngga papa. Toh
perasaanmu sudah netral kan?”Dina berkomentar lagi, sebab aku tidak menimpali ucapannya.
“Masalahnya
nggak sesimpel itu Din’,”
“Terus?”
tanyanya lagi.
“Mungkin
hatiku memang sudah sembuh. Tapi tetap saja aku tak ingin bertemu dengannya
demi alasan apapun,”tegasku.
“Kenapa?seharusnya
kau senang bisa yakin apakah hatimu itu sudah benar-benar netral?”ucapnya
dengan nada menyindir.
“Tidak
perlu bertemu dengannya hanya untuk mengetahui apakah hatiku sudah netral atau
belum?”jawabku sedikit sinis.
“Kalau
begitu mengapa hingga saat ini kau tak
juga membiarkan pria lain untuk memenuhinya?Kamu terlalu keras pada
hatimu. AC saja bisa dinaikkan dan direndahkan suhunya. Kadang bisa dingin tapi
suatu waktu kalau kita kedinginan kita bisa naikin suhunya,” Dina mengucapkan
kata-kata itu sambil menatapku. Aku langsung kikuk. Dina seperti dapat membaca yang
kini sedang bergejolak di hatiku.
“Sudahlah,
lupakan mungkin sudah begini jalannya. Aku sedang tak ingin berdebat tentang
ini,” ucapku berusaha mengalihkan obrolan.
”Oke,
semoga sukses dengan hatimu,” ujar Dina tak ingin memperpanjang.
***r
Akhirnya hari yang paling tak
ingin kualami tiba juga, di bandara sebelum
berangkat aku sempat berpikir sremoga penerbanganku ditunda selama sebulan, sehingga
aku memiliki lebih banyak waktu mempersiapkan hatiku. Seharusnya aku bisa menikmati
perjalanan dinas ini karena aku akan lebih banyak ada di pantai.
Huh, aku menarik nafas panjang.
”Halo
mbak Nola, senang anda bisa ikut meliput kegiatan ini. Suatu kehormatan untuk
kami,”sapa wanita yang kemudian kuketahui namanya Nita, dia adalah humas pada
kegiatan ini.
”Maaf
Bapak ketua tidak bisa menjemput.Sebab ia harus mengurus hal lainnya,” jelas
Nita. Dan asal kau tahu, Nita, aku mengucap syukur kepada Tuhan untuk
ketidakbisaannya menjemputku.
“Sebenarnya
saya tidak pelu dijemput Nit’, saya bisa ke sana sendiri. Tidak pelu
diistimewakan,”ucapku sambil kami berjalan menuju mobil.
“Tidak
apa-apa mbak,”jawabnya dengan ramah.
“Tapi
sepertinya Ketua saya kenal dekat dengan mbak. Karena dia menjelaskan bagaimana
kami harus menyambut mbak Nola,” penyataan Nita barusan membuatku bagai
mendapat serangan jantung mendadak.
“Masa?Itu
hanya cara ketua kamu menghargai kesediaan media saya untuk meliput,” ucapku
beralibi.
“Mungkin
begitu ya,mbak.” Terima kasih Tuhan karena Nita tak lagi bertanya. Setelah
tiba, aku meminta Nita untuk mengantarkanku ke lokasi. Padahal ia menawariku
untuk ke hotel. Tapi aku menolak, aku harus menulis berita. Paling tidak aku
mendapat data, negara mana saja atlet
yang datang.
“
Mbak duduk dulu ya. Aku ambilin data yang dibutuhkan,”ucap Nita kemudian
meninggalkanku rpergi.
Aku
mengeluarkan laptopku. Sambil menunggu
Nita datang membawa data yang kubutuhkan aku bisa membuat lead pembuka
beritaku. Aku memperhatikan sekeliling. Keren. Penataan acara ini sungguh
menandakan bahwa ini adalah kompetisi tingkat intenasional. Meski kesal, tapi
aku mengakui kau memang pantas ditunjuk sebagai ketua acara yang pertama kali di
adakan di Asia.
“Selamat
datang, maaf aku tidak bisa
menjemputmu,”
“Oh
tidak suara itu? Aku masih sangat menghafalnya,”seruku dalam hati. Seperti apa sikap yang mesti kutunjukkan saat
menghadapimu.Aku menoleh, wajah kita pun sontak bertemu. Hatiku berdegup
kencang. Perasaan ini sama persis seperti saat pertama kali kau mengucapkan kau
mencintaiku.“Damn you, Andika Rahmat!” kutukku dalam hati kenapa kau masih
berhasil membuatku salah tingkah.
“Santai
aja,” jawabku singkat, tetap focus pada laptopku. Oke, tarik nafas panjang.
“Kamu
tampak beda.” Kau mencoba membuka obrolan.
”Semua
orang bisa berubah,” jawabku dingin.
“Masih
marah padaku?” kau bertanya lagi. Sepertinya kau sudah menduga, apa yang
kurasakan.
”Kopi?”
kau masih mencoba mencairkan keadaan situasi. Aku tak bergeming.
“Ah
aku lupa. Kau kan tidak suka kopi,” pertanyaanmu kau jawab sendiri.
“La,”
kau memanggilku lagi.
Aku
diam saja, tetap sibuk mengetik tulisan di laptop. Seolah menganggapmu tak ada.
“Apa
tidak bisa kau memaafkan aku?Peristiwa itu sudah lama, apa aku masih belum bisa
dapat maafmu?” tenggorokanku tercekat mendengar pernyataan itu.
“La,”panggilmu
kesekian kali.
“Cukup!Pergilah.
Aku sibuk dan jangan mengangguku,” seruku dengan nada meninggi.
“Aku
sudah cukup pusing karena harus menjalani tugas menyebalkan ini. Jadi kumohon
jangan membuatnya semakin buruk,” lanjutku. Mukamu langsung pucat, kau sungguh
tidak menyangka respon yang kuberikan.
“Komunikasi
kita hanya soal kerjaan.Soal pribadi apalagi soal masa lalu tidak ada dalam
kontrak kerjaku. Tolong kita masing-masing professional. Bisa kan?” lanjutku.
Kau hanya memandangku dan mematung.
Aku
mengemasi laptopku dan meninggalkanmu yang masih tebengong-bengong. Aku tak
peduli, Aku sadar mungkin sikapku berlebihan. Tapi semestinya dengan apa yang
telah kau lakukan padaku. Kau bisa paham kenapa aku bertingkah seperti tadi.
“Mbak
Nola, kemana saja. Mengapa tidak menunggu saya?’ suara nita mengejutkanku karena
mendadak berjalan di sampingku.
“Maaf.
Aku lupa,” aku bohong.
“Ini
datanya mbak,” Nita menyodorkan beberapa lembar kertas padaku.
“Thanks,”
dan kemudian Nita berlalu. Aku mencari tempat lain yang jauh dari orang menyebalkan
itu, dan kembali meneruskan pekejaaan yang tadi sempat tetunda karenamu.
Semestinya
kau tidak meninggalkanku, kalau mungkin kau sedang lelah dalam hubungan kita. Kau
mestinya mengatakannya. Karena sungguh, aku mau menunggumu dan memberimu kesempatan untuk menarik nafas,
sambil kemudian mengumpulkan kekuatan untuk meneruskan perjalanan kita. Sebab
aku tidak ingin melanjutkan semua ini tanpa jejakmu di sisi jejakku. Aku ingin
perjalanan ini dengan sepasang jejak kita tetap bersisian. Karena jejak ini terlalu
sayang untuk dihentikan di tengah perjalanan yang sedang kita tempuh. Tapi kau
malah meninggalkanku, dengan alasan telalu banyak rintangan yang tidak bisa kau
hadapi.
Bahkan jika dipaksakan malah akan melukaiku.
Meski aku telah menyakinkanmu. Kau tetap berbalik menuju arah berbeda.
Aku
hancur . Dunia seakan berhenti ketika itu. Aku tak ingin mulai berhitung
tentang siapa yang paling banyak berkorban untuk satu sama lain. Tapi sebelum memutuskan
pergi.Harusnya kau ingat. Bagaimana pengorbanan kita selama dua tahun.
Bagaimana kita menaklukkan penjahat bernama
jarak yang terus berusaha memisahkan kita.
Bagaimana
terkadang aku hanya ingin berdiam di satu sudut, dan enggan beranjak. Menunggu
kamu yang entah kemana, tanpa tahu apakah kamu akan benar-benar kembali atau
tidak. Tapi walau tanpa jaminan kau kembali aku tetap menunggu.
Aku
perempuan yang tak memintamu berjanji untuk sering menelepon dan berkirim
pesan. Aku tak pernah menuntut apa-apa, tapi selalu ada dan mendukungmu. Aku
juga rela menunggu dalam ketidakpastian, walau seluruh dunia memintaku
berhenti. Padahal dalam penantian itu kau membiarkan aku dibekukan jeda panjang
yang kau buat untuk menyakinkan diri. Kamu pun membiarkanku di lalap sepi dan
dikelilingi ribuan tanda tanya yang tak pernah bisa kupahami. Aku jatuh
terperosok dalam penantian itu. Beruntung gravitasi mengembalikan dua kakiku
memijak tanah.
Aku selalu paham kau yang berubah haluan dalam waktu
seper sekian detik. Aku juga selalu tahan dengan kejutan-kejutan yang kau lakukan.
Kemudian
apa kau lupa? Siapa yang selalu ada dan menarikmu kembali saat kau berulang
kali terjatuh. Siapa yang dengan sepenuh hati ketika yang lain mengabaikanmu?Akulah
wanita yang tak bosan mendengar cerita-cerita tentang perjuangranmu.
Mengapa
semudah itu kau lupa. Mungkin aku terlalu naïf, yang menyangka aku dan kamu
seperti Tuhan yang tak pernah berubah. Sehingga aku terus menikmati semua rasa yang menyakitkan itu. Bagaikan terkena
paku, awalnya perih menusuk. Namun lama kelamaan aku terbiasa dan justru
mengagumi sakitnya, padahal dengan itu langkahku jadi tertatih. Menghalangi perjalananku
dan membuatku tergantung padamu.
Kau tahu, sejak kau memutuskan pergi. Dendam memenuhi
hatiku. Aku berharap dendam ini menjadi alasan bagi Tuhan untuk menuliskan karma
padamu.
Kau puas?Bahagia? Sebab dapat membuatku mengunci
hati. Sementara di sana kau sedang menikmati kebahagiaan yang harusnya kita
rasakan berdua.
Dan
setelah aku mampu tertidur dan terbangun pada pagi yang sunyi tanpa sapamu.
Kemudian menghilangkan hal-hal melankolis yang menjadi rutinitas kita. Mampu
bertahan dalam pergantian musim yang kekal. Lulus cum laude dari ujian
ketabahan. Kemudian menerima semua ini sebagai takdir yang indah. Kau kembali?Bersikap
ramah tanpa dosa kemudian menuntut maaf?Apa kau merasa layak setelah apa yang
telah kau lakukan padaku?
***
“Bagaimana ini?Kenapa tidak ada wawancara dengan
ketua panitia?Kan aku udah tugasi untuk minta wawancara ketua panitia,”
redakturku mulai mengomel. Namun aku tahu apa yang diucapkannya benar. Aku
seharusnya juga mewawancaraimu, sebab kau orang paling penting dalam acara ini.
“Sorry bos. Aku terlalu asyik mendeskripsikan
suasana, karena menurutku itu sangat menarik,’ elakku beralasan.
“Aku
tahu, dan aku tidak meragukan tulisanmu soal itu. Tapi tetap harus ada komentar
Ketua Panitia. Kau masih ingat soal 5W+1 H kan?” suaranya meninggi.
Dan aku tahu, kali ini ia benar-benar
serius.”Iya besok aku wawancara,” janjiku.
“Ada
apa Nola Larasati, kau seperti kehilangan dirimu?”ucapnya sebelum menutup
telepon. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan.
***
“Aku
mau wawancara,” seruku dingin. Kau menoleh, tampak sedikit terkejut melihat
kehadiranku.”Aku mau wawancara?Bisa?” ucapku mengulangi kata-kataku sebelumnya.
“Oke,
bisa. Kamu mau dimana?” kau berusaha bersikap normal.
“Di
sini aja,” jawabku masih dingin.
“Baiklah,”
katamu singkat sambil menggangguk. Kau tak lagi banyak berbasa-basi, sepertinya
kau paham dengan pemintaanku untuk berkomunikasi tentang pekerjaan saja.
Sikapmu
itu membuat suasana menjadi kaku.”Oke kita langsung saja ya, seperti apa konsep
acara ini. Dan bagaimana pendapat anda melihat banyaknya atlet asal Negara lain
yang mengikuti event ini,”tanyaku sambil berusaha mengendalikan hati.
Tak kupungkiri masih ada degup yang tersisa. Kau
menjawab petanyaanku dengan detil. Hingga membuatku tak mampu berkata-kata. Ya,
kau tak berubah, masih cerdas. Dan hal itu salah satu alasan yang membuatku
jatuh cinta padamu.
”
Thanks atas jawabanmu. Aku sudah memberikan koranku tentang liputan kegiatan
ini ke Nita,” aku beranjak pergi.
“La…
ada yang ingin kujelaskan padamu. Kita bisa bicara?”pintanya kemudian. Aku
menghentikan langkah.”Kalau kau ingin menjelaskan sesuatu yang sudah lama berakhir.
Maaf, aku tak punya waktu untuk itu,” ucapku tanpa menoleh.
“Please..?”
kau memohon.
“Aku
sibuk!” lantas meninggalkanmu.
Ada
yang ingin kau jelaskan padaku?Apalagi? Kau sudah memilih pergi meninggalkan
aku. Itu sudah cukup jelas bagiku. Semua itu hanya alasanmu untuk bisa
mengobrol denganku. Tidak akan kubiarkan membuat hatiku kacau lagi. Tidak akan ada
yang dimulai lagi dan diperbaiki. Meski memang ada bagian dari masa lalu yang
memaksa untuk dikenang, sekalipun kenangan itu lebih baik dilupakan. Kita hanya
akan berkomunikasi sampai tugas ini selesai. Setelah itu lebih baik aku dan
kamu kembali menjadi orang asing. Lagipula tidak akan bagus juga dilihat, bila
kita telalu sering terlihat berdua. Kau suami orang. Nanti aku dituduh menjadi
penggoda suami orang.
“Dik
Mala?” sapa seseorang tiba-tiba. Aku menoleh. Kemudian tesenyum.”Mas Bimo?”
tebakku. Sebab tidak ada lagi laki-laki yang memanggilku dengan sebutan ‘Dik’
selain dia. Mas Bimo adalah sahabat dekat Dika, dia adalah orang yang selalu
mendamaikan hati saat Dika mulai menghilang dan tak bisa dihubungi.
”Wuihh
pangling aku. Dari kemarin mau nyapa tapi takut salah orang,” ucapnya.
“Ahh..
mas Bimo bisa aja. Sama aja kayak dulu,”
“Nggak
lah. Lebih cantik..”
“Dan
lebih seksi,” tebakku sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Mas Bimo tertawa. Kami
kemudian saling menanyakan kabar.
“Sudah
ketemu?Masih marah sama dia?”Tanya mas Bimo membuatku kaget.
“Kenapa
masih marah?”jawabku.
“Dia
mengalami masa-masa sulit setelah meninggalkanmu,” pernyataan Mas bimo
menyentakkanku.
”Maksud
mas Bimo?”
“Kamu
kasih dia kesempatan untuk menjelaskan apa yang terjadi,”
“Untuk
apa?Dia sudah memilih pergi,”sahutku.
“Ada
yang dia jelaskan padamu, dia juga ingin meminta maaf atas apa yang ia lakukan
selama ini padamu,” Mas Bimo menatapku. Aku curiga. Ia seperti sedang
menyembunyikan sesuatu.
”Makanya
beri ia waktu untuk menjelaskan,”ucap Mas Bimo. Aku hanya diam, tak tahu mesti
menjawab apa. Obrolan dengan Mas Bimo tadi siang membuatku kepikiran. Meski aku
mengatakan tak peduli, tapi tetap saja aku penasaran. Terutama ketika Mas Bimo
bilang, kau mengalami masa-masa sulit setelah meninggalkanku. Ahhh.. haruskah
aku memberimu kesempatan?
***
“Nih,
kamu belum makan dari pagi,” kau menyodorkan nasi kotak padaku. Sok tahu, bagaimana kau bisa tahu
kalau aku belum makan dari pagi, gumamku dalam hati.
“Makasih,
nggak perlu repot- repot ,”komentarku sinis.
“Aku
tahu sudah sangat menyakiti hatimu. Tapi apa salahku sedemikian besar, sehingga
aku tidak pantas bahkan untuk dapat sambutan lebih baik,” protesmu karena setiap kali berbicara denganku yang kau
dapat hanya sambutan dingin dan sinis.
Aku
menghentikan aktivitas mengetikku. ”Dengar baik-baik ya, dari awal kan aku
sudah dengan jelas mengatakan kepadamu, jangan pernah berharap aku bersikap
beramah-ramah kepadamu. Komunikasi di antara kita hanya soal pekerjaan. Bisa
nggak kita tidak lagi mendiskusikan soal ini,” seruku sembari beranjak pergi
meninggalkannya.
Tapi
tiba-tiba kau mencengkeram tanganku. Kuat sekali sehingga menahan langkahku.”Apa
yang kau lakukan. Lepaskan,” teriakku atas tindakannya.
“Aku
nggak mau,” kau balik berteriak tak kalah keras. Hingga membuat perhatian di
sekeliling. “Pelankan suaramu?Kita jadi pusat perhatian,” ujarku memperingatkan.
”Biarkan
saja. Aku tak peduli,”ujarmu.
“Tapi
aku peduli,” balasku dengan tatapan tajam. Dan berhasil, kau mulai melunak tak
lagi berapi-api seperti tadi.”Aku hanya ingin kau memperlakukanku dengan lebih
manusiawi. Aku tahu telah melukaimu. Tapi aku sudah minta maaf. Apa aku tidak
berhak untuk dimaafkan?” protesmu atas sikapku.
“Apa
kalau aku memaafkanmu, kau janji tidak menggangguku lagi,” ucapku.
“Tidak
hanya maaf. Aku ingin kau memberiku waktu untuk menjelaskan sesuatu,”mohonmu
lagi.
”Oke,
aku kasih kamu waktu untuk menjelaskan apa ingin kau jelaskan padaku. Nanti jam
7 jemput aku di hotel,” pertahananku jebol juga. Tapi apalah, biar semua jelas.
****
Sudah
hampir jam 7, dan aku masih sibuk
mematut diri di cemin memilih baju mana yang akan kukenakan untuk keluar
denganmu. Ayolah Nola Larasati, kau
bukan akan kencan dengannya. Ia hanya akan menjelaskan sesuatu yang belum
sempat ia katakan dahulu. Suara dalam
hatiku menyindir. Tapi tetap saja aku ingin tampak menawan dan membuatmu menyesal karena dulu
mencampakkanku.
“Aku
sudah di lobi” ponselku berbunyi. Menandakan sebuah pesan masuk. Ah dari siapa
kau tahu nomor ponselku. Pasti Nita, sebab hanya dia yang tau nomorku.
”Oke”
balasku singkat. Biarkan saja kau menunggu. Kalau perlu akan membuatmu menunggu
lama. Biar kau tahu siapa yang kini
pegang kendali.
“Hai,”
panggilku
“Hai
juga,” jawabmu singkat, sambil memperhatikanku dengan seksama. Ah.. pasti dalam
hati kau sedang mengutuk diri sendiri. Mengapa bisa mencampakkan wanita
semempesona aku.
“Kita
jalan sekarang,” ajakku dan seketika membuyarkan lamunanmu.
“ehh..
iya” ucapmu dengan terbata-bata.
“Aku
Lemon tea tanpa gula ya mbak,” pesanku kepada pelayan ketika sedang menanyakan
apa pesananku.”Kamu nggak makan?”kau betanya karena aku tidak memesan makanan.
“Nggak,’
jawabku singkat.
“Ohhh?oke,”
jawabmu tanpa banyak bertanya. Kau tidak ingin merusak suasana.
”Jadi
apa yang ingin kau jelaskan?”aku to the point.
“Apa
kita tidak bisa memulai dengan saling bertanya kabar?” protesmu lagi akan
sikapku.
“Aku
tidak punya banyak waktu, besok aku harus bangun pagi.”balasku.
“Baiklah,
aku tak ingin berdebat. Aku sudah senang kau mau menerima ajakanku,”
“Jadi
apa yang ingin kaujelaskan,” aku mengembalikan obrolan ke topik semula.
“Oke,
sepertinya kau sudah tidak sabar mendengarnya,” sindirmu.
“Aku
sudah berpisah dengan istriku,” kata-katamu membuat tenggorokanku tercekat.
“Lantas?”
aku berusaha tetap tenang supaya terlihat tak terpengaruh oleh kata-katamu.
“Mungkin
itu karma setelah meninggalkanmu. Sungguh aku menyesal, ternyata pilihanku
salah. Aku melepaskanmu untuk seseorang yang tidak dapat mencintaiku apa
adanya,”tuturmu.
“Penyesalanmu
tidak kan mengubah apapun, itu pilihanmu,” ucapku dingin. Wajahmu tampak sedih,
tapi sungguh itu tidak sedikitpun membuatku tersentuh. Dalam hati, aku malah
bersorak. Mungkin terkesan jahat. Tapi aku rasa itu setimpal dengan apa yang
telah kau lakukan padaku dahulu.
“La,
apa kita tidak bisa mulai dari awal lagi. Aku akan menepati janjiku kali ini,”
tegasmu. Apa?Aku tak salah dengar. Kau ingin kembali padaku?Kau pasti sudah
gila. Setelah apa yang kau perbuat, aku masih mau berkomunikasi denganmu itu
sudah sangat luar biasa. Dan kini kau memintaku menerimamu lagi?Oh Anda terlalu
percaya diri.
“Kau
tahu janji itu cuma kalimat pemanis, sisanya Bullshit! Kita sudah selesai. Tidak
ada lagi kesempatan kedua. Aku belum benar bisa melupakan apa yang telah kau
lakukan padaku. Sakitnya masih terasa. Dan kini semudah itu kau minta aku agar
aku menerimamu kembali,” seruku.
”Tapi
aku tahu kau masih mencintaiku?” ahh kau makin menggila. Aku masih mencintaimu?”
Kau terlalu percaya diri bila menganggap aku masih mencintaimu. Yang tersisa
hanya kebencian.
“Semua sudah terjadi. Tak ada yang harus disesali.
Mungkin memang takdir kita yang harus berakhir seperti ini.Dan perpisahan juga
sudah diputuskan. Meski sepakat memutuskan untuk memaknainya dengan cara
berbeda,”tuturku.
Aku melanjutkan,”Memori biar saja tetap tinggal di sana untuk kemudian terkenang. Mungkin perpisahan adalah cara yang terbaik bagi kita untuk lebih bahagia,”
Aku melanjutkan,”Memori biar saja tetap tinggal di sana untuk kemudian terkenang. Mungkin perpisahan adalah cara yang terbaik bagi kita untuk lebih bahagia,”
“Kau tahu mungkin akan ada saatnya nanti.Kau
berjalan menuju rumah dengan bayangan sebagai pasangan setia. Bila saat itu
tiba jangan berusaha mengingatku. Sebab jatuh cinta padamu cukup sekali. Dan
kini sudah berakhir,” Kau tertunduk mendengar apa yang kuucapkan barusan.
Aku
bangkit dari tempat dudukku.”Aku pulang. Kudoakan semua yang terbaik terjadi
untukmu,” ucapku kemudian pergi. Kau hanya diam. Tak mampu berkata-kata.
Lidahmu mungkin jadi kelu.
Lihatlah,
aku membuktikan padamu. Bila suatu saat nanti kita bertemu lagi , pada sebuah
pertemuan yang tidak disengaja. Maka saat itu kupastikan kau akan menyesal
karena memilih tak memperjuangkan aku,kita.*
Komentar
Posting Komentar