Langsung ke konten utama

Aku tak tahu mengapa aku begitu menyayangimu, pertama kita bertemu tak ada kesan yang luar biasa. Kamu menarik. Tapi tak cukup kuat untuk menarikku. Seiring berjalannya waktu, kita saling mengenal semakin dalam kamu tampak semakin menarik setiap kali aku mengetahui hal baru tentangmu. Tapi saat itu masih belum cukup kuat untuk menarikku. Bahkan ketika kau meminta jariku mengisi sela-sela jarimu dan menemani sisa perjalanan yang akan kau lalui. Aku tetap masih meragu, hatiku diliputi bermacam-macam keraguan...

Cinta memang hebat ya? Bisa menyembuhkan luka yang sebelumnya dia lukai sendiri. 
Bisa membuat kita jadi amnesia dengan kegagalan cinta kita sebelumnya dan memaafkan.
Bisa membuat kita sangat bersemangat juga ingin mati.
Dan karena cinta juga, kita rela menunggu, padahal menunggu kan pekerjaan yang paling membosankan?

Dan karena cintalah, yang membuatku rela menempuh perjalanan berjam-jam meninggalkan kota Surabayaku tercinta menuju Jogja. Ini kulakukan supaya semuanya jelas. Sekaligus untuk membuktikan apakah semua rasa ini nyata atau hanya harapan kosongku semata. Aku tidak ingin terus menerus di dera rasa penasaran dan pengandaianku sendiri. Semua ini harus diselesaikan, tidak boleh terus menggantung seperti ini.

Bis yang kunaiki mulai bergerak menjauh dari kota Surabayaku tercinta. Hatiku yang tadi tenang, tiba-tiba mulai diliputi kecemasan. Oh, Allah semoga semua yang akan terjadi di sana seperti yang kuinginkan. ucapku dalam hati. Dan kecemasan itu pun semakin menjadi, saat seorang sahabatnya memberi tahuku melalui pesan singkat. Kalau  kekasihku akan menghabiskan tahun baru dengan melakukan pemanjatan ke Pantai Siung, pantai di daerah gunung kidul Jogjakarta yang terkenal dengan tebing-tebingnya yang menantang dan yang lebih membuatkun khawatir lagi di sana tak ada sinyal hp. “ Ya Allah, semoga dia tidak jadi pergi ke pantai,” batinku dalam hati.

Aku memang sengaja tidak memberitahu rencana kedatanganku ke Jogja. Aku ingin memberinya kejutan. Dia pasti tidak akan pernah menyangka aku akan datang.  Hujan deras mengiringi perjalananku menuju kota yang beberapa hari ini 'memanas' karena masalah keistimewaan. Perjalanan ini juga masih panjang. Masih beberapa jam lagi baru aku akan sampai di sana.

Aku tak tahu mengapa aku begitu menyayangimu, pertama kita bertemu tak ada kesan yang luar biasa. Kamu menarik. Tapi tak cukup kuat untuk menarikku. Seiring berjalannya waktu, kita saling mengenal semakin dalam kamu tampak semakin menarik setiap kali aku mengetahui hal baru tentangmu. Tapi saat itu masih belum cukup kuat untuk menarikku. Bahkan ketika kau meminta jariku mengisi sela-sela jarimu dan menemani sisa perjalanan yang akan kau lalui. Aku tetap masih meragu, hatiku diliputi bermacam-macam keraguan.

Aneh, atau mungkin karena saat itu kedatanganmu dalam hidupku begitu mendadak. Kau datang di saat aku tak ingin lagi mencinta. Di saat aku sudah menutup rapat hatiku untuk cinta dan ingin menjadi seperti Rabi’ah Al Adawiyah yang seumur hidupnya hanya mencintai Tuhan saja. Tapi konsistensi dan pertahananmu yang kuat membuatku lemah. Seharusnya saat itu kau tidak usah terus ada untukku dan membantuku menyembuhkan luka hati karena pengkhianatan dan menenangkannya. “ Hufffttt..” aku menghela nafas panjang.

Tapi semuanya sudah terlanjur. Aku sudah terlanjur sayang padamu dan membiarkanmu menjadi bagian dari hatiku. Seruku dalam hati. Aku memperbaiki posisi dudukku, untuk membuat badanku lebih nyaman. Tak terasa sudah dua jam aku berada dalam bus ber AC ini. di luar juga masih hujan. Dan aku masih ada di separuh perjalannanku. Suasana dalam bis juga hening. Sepertinya semua orang sedang terlelap di tempatnya masing-masing. Perempuan yang duduk di sebelahku juga sedang tertidur.

Aku kembali melamun, aku membayangkan bagaimana nanti bila kita bertemu ya? Setelah sekian lamanya ya? Katamu kau akan memelukku mesti tidak akan kuperbolehkan.

Ya, Cinta memang seperti warna, lebih mudah dinikmati, dirasakan, dan dimaknai sendiri, dibanding ketika mencoba menjelaskannya melalui media kata-kata. Mintalah seseorang menjabarkan bagaimana biru, maka dia kemungkinan akan diam, bingung merangkai kata untuk mendeskripsikannya. Tapi mintalah ia menunjukkan biru, maka ia akan menunjukkan mulai dari hamparan langit, sampai bentangan samudra, hingga kau tahu apa itu biru.

Seperti itu juga cinta. Jika diminta untuk menjabarkannya, maka aku akan diam. Namun cobalah minta aku menunjukkannya, maka aku akan berdiri di sampingmu, di tengah senyumanmu, atau diantara luapan kemarahanmu. Dari kulitmu segar dan kenyal, hingga ia melar kalah oleh gravitasi. Dari mulai rambutmu hitam lebat, hingga kepalamu hanya menyisakan sedikit saja rambut yang memutih. Dan kau pun akan tahu!


Sudah sampai di Ngawi, sebentar lagi kami akan turun untuk makan di salah rumah makan di daerah sana. Ah.. semoga kondisi jalan tidak terlalu padat sehingga aku bisa sampai di sana sebelum Magrib dan tak terlalu kemalaman untuk mencari tempat penginapan. Sebenarnya semuanya akan jadi lebih mudah jika kau mengetahui  kedatanganku ke kota tempatmu meniti karir sebagai atlet ini. Karena pasti kau akan menyiapkan segalanya untukku di sana. Tapi tidak! niatku sudah bulat untuk memberimu kejutan akan kedatanganku. Aku juga mau kau tahu, ini caraku berjuang untuk cinta kita. Satu hal, yang selalu kau tunda untuk kau buktikan.

Entahlah, mana yang mestinya kupercaya, kata-katamu atau semua kenyataan ini. Hatiku bingung, untuk berpihak ke mana? Aku tahu, situasi dan kondisimu belum memungkinkan. Ada beberapa masalah soal dengan karirmu yang harus kau selesaikan terlebih dahulu. Aku tahu, kau ingin datang  ke keluargaku dengan kepala tegak dan tak diremehkan. Tapi semua idealismemu itu membuatku cemas. Membuatku takut suatu saat kau akan pergi lagi. Seperti dulu, di awal hubungan kita. Setiap kukatakan kepadamu soal hal itu, dengan ringan kau pasti akan menjawab bahwa hidup di dunia tidak boleh takut kehilangan hal-hal duniawi. Tapi takutlah kehilangan akan cinta dan kasih Allah.

Dan, tanggapanmu tentang kecemasanku, membuatku aku marah sekali padamu. Karena aku merasa kau tidak peka. Seharusnya kau tahu ini bukan soal takut kehilangan. Tapi karena aku sayang padamu.

Akhirnya bus yang mengantarkanku ke Jogjakarta sampai juga di rumah makan yang dituju. Semua penumpang  langsung turun, tak hanya untuk mengisi perut. Tapi juga untuk sholat, buang air, atau sekedar melepas lelah dan penat. Jujur, jika boleh memilih sebenarnya aka tak ingin singgah di tempat makan. Karena yang kuinginkan saat ini hanya sampai di Jogja dan bertemu denganmu. Teman sebelah dudukku, mencolek. Dia menanyakan padaku tentang menu apa yang akan kupilih. “ Mau makan apa mal?”tanyanya dan seketika menyadarkanku dari lamunan tadi. “ Makan apa ya, mbak?bingung nih?menunya ga ada yang pas?” jawabku sekenanya. Padahal yang sebenarnya aku tak berselera. Seleraku cuma satu. Sampai di Jogja dan bertemu denganmu.

Kurang lebih sejam, singgah di rumah makan. Perjalanan kembali dilanjutkan. Masih ada 4 jam lagi yang akan kuhabiskan di dalam bis. Untuk bisa sampai di Jogja. Waktu yang masih sangat lama, terutama untuk aku yang ingin cepat sampai di Jogja. Telepon genggamku tiba-tiba berdering, nama dan fotomu muncul di layarnya, karena tak juga kuangkat ringtone lagu favoritmu mulai memenuhi suasana bis yang sunyi. “ Duh, apa yang mesti kukatakan?” batinku dalam hati. karena aku tak ingin kau tahu bahwa sekarang aku sedang ada di dalam bis menuju Jogja untuk menemuimu. Ya Tuhan, bagaimana ini. Apakah telepon ini harus kujawab atau tidak? Kalau kujawab apa yang mesti kukatakan? Aku tak mau dia tahu. Semua rencana kejutan ini akan sia-sia. Tapi jika tidak kujawab? Dia pasti akan curiga? Oh, Tuhan apa yang harus aku lakukan, aku benar-benar di dera dilema.

Dan, akhirnya kuputuskan untuk menjawabnya.
“ Kok lama banget sih jawab teleponnya?” serunya dengan nada agak tinggi.
“ Iya maaf sayang, HPnya tadi aku silent. Ada apa?jawabku sambil tetap berusaha tenang. Aku harus tenang supaya aku tak memberikan jawaban yang salah dan mengacaukan semua rencana ini.
“ Sekarang kamu ada di mana?” tanyanya tanpa basa-basi.
“ Lho memangnya kenapa?” balasku balik bertanya.
“ Kamu tuh gimana toh sayang? Lagi ditanya kok malah balik nanya?”protesnya terdengar mulai kesal.
Aku tersenyum, meski aku juga masih bingung memikirkan alasan apa yang harus aku katakan kepadanya. Tapi paling tidak aku sudah bisa sedikit menguasai keadaan.
“ Lah ya tumben kamu tanya aku di mana? Aku ya lagi di rumah lah sayang, memangnya kamu mau aku di mana? Lagi di bis menuju Jogja?gitu?” jawabku sambil menggodanya. Aku tahu jawaban seperti ini akan membuatnya semakin kesal. Dan itu justru yang bkuharapkan agar ia berhenti bertanya.
“ Aku tanya kamu di mana?” katanya lagi menegaskan.
Wah sepertinya tak tepat kondisinya untuk mengajaknya bercanda kali ini.
“ Aku.. aku.. ya di rumah sayang. Kamu nih kenapa sih kok aneh?” elakku lagi, tetap berusaha tenang.
“ Jangan bohong, kamu di Jogja kan? Pras yang bilang. Masih mau bohong lagi?” katanya kali ini dengan nada sangat tegas.
Aduh.. mas Pras nih gimana sih. Sudah aku pesenin jangan bilang-bilang kalau aku mau ke Jogja. Kok malah bilang sih. Kalau sudah kayak begini, aku kan jadi ga bakal bisa ngelak lagi. Runtukku dalam hati.
“ ehmmmm.. iya sayang. Tapi aku masih di bus. Nih baru keluar Ngawi,” ungkapku akhirnya. Ya.. sepertinya aku memang harus mengaku. Tak ada pilihan lain. Kalau aku tak juga mengaku nanti dia malah semakin marah dan semua rencana bisa runyam.
“ Ya udah hati-hati. Kenapa ga bilang dari awal? Kamu tuh buat aku khawatir saja,” katanya. Setelah itu ia berpesan untuk menyuruhku turun di dekat rumah makan grafika yang persis di sebelah kedai panjat. Tempatnya tinggal selama di Jogja.

Meskipun rencana untuk memberinya surprise gagal, tapi aku tetap bahagia. Karena ternyata ia tak jadi pergi ke pantai. Dan memilih untuk menungguku. Sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Karena aku tahu memanjat tebing  adalah sesuatu yang paling ia cintai setelah ibunya. Tapi ternyata sekarang kecintaannya pada tebing itu dapat kukalahkan. Caranya mencintaiku memang unik, sehingga kadang aku sendiri tak bisa menebaknya. Tapi itu justru yang membuatku mencintainya. Atau jangan-jangan yang aneh itu aku? Seruku dalam hati.

“ Saya turun di depan rumah makan Grafika ya Pak?” ucapku pada kondektur, setelah bis yang kutumpangi melewati Candi Prambanan yang jaraknya tak jauh dari training centrenya di Jogja. Setelah berpamitan pada teman duduk sebelahku. Aku berdiri. Tiba-tiba dadaku berdegup kencang. Akhirnya?????Akhirnya???? Setelah sekian lama aku akan bertemu dengannya lagi. Oh..Tuhan, apakah ini mimpi?, teriakku dalam hati.

Dan, akhirnya! Sampailah aku di sini. Di Kota Jogjakarta yang dikenal dengan tradisinya yang masih kuat. Tempat di mana sekarang kekasihku berada. Dan setelah menempuh perjalanan selama 9 jam. Tak lama kemudian, dari kejauhan tampak seorang lelaki  berjalan menghampiriku.  Lelaki itulah yang bisa menghilangkan konsentrasiku karena rindu padanya. Lelaki yang karenanya aku rela mengantuk setiap pagi di kantor, setelah semalaman  mengobrol dengannya di telepon. Lelaki tidak peka yang punya cara yang aneh mencintaiku, hingga membuatku frustrasi. Tapi Lelaki ini jugalah, yang membuatku dicintai dengan apa ada, dengan sebagaimana aku dan tanpa perlu menjadi siapa-siapa.

“ Sudah lama?” tanyanya ketika akhirnya tiba di hadapanku. Terlihat wajah dan tingkahnya sedikit kaku. Aku hanya diam, tak menjawab dan hanya memandanginya saja.
“ Heiiiiiiii…” panggilnya lagi menyadarkanku.
“ Kenapa jadi ngeliat aku kayak gitu? Ada yang aneh di wajahku?” tanyanya sambil tersipu.
Aku tersenyum, sambil tetap memandanginya kemudian aku berkata. “ Ngga pa-pa. Cuma pengen memastikan ini kekasihku yang suka ilang-ilang itu atau ga ya?”candaku sambil memeluknya. Sementara dia hanya terbengong-bengong sendiri melihat tindakanku itu. Kali ini aku yang memelukmu duluan, seruku dalam hati.

Kau tahu, Tuhan? Rasanya sangat nyaman. Semua kekhawatiran yang kubawa dari Surabaya langsung hilang. Hatiku lega. Karena ternyata Tuhan memberiku kenyataan lebih dari yang kuharapkan. Kekasihku ada di sini untukku dan tidak meninggalkanku seperti yang kupikirkan. Tiba-tiba aku merasa sangat egois. Aku terlalu menuntut terlalu banyak, padahal ia sudah melakukan banyak hal untukku.

Seketika semuanya menjadi jelas, tanpa perlu pertanyaan lagi. “ I Love U,” tiba-tiba ia berbisik lirih di telingaku dan memelukku lebih erat.

Aku Lega Tuhan. Lega. Sekarang aku jadi tahu, rasanya dicintai.


Cerpen ini sudah pernah dimuat di Majalah Chic






Komentar

Postingan populer dari blog ini

doa itu adalah benda, yaitu gelombang energi quantum yang disebut pikiran dan perasaan dan keduanya merupakan kata benda...

....Aku dekat..Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku (QS.Al Baqarah :186) Saya sering bertanya dalam hati, kenapa kita harus repot berdoa dan dalam doa itu kita menjelaskan pada Tuhan apa yang kita mau? Bukankah Tuhan Mahatahu? Seharusnya aktivitas berdoa itu tidak perlu ada, karena tanpa kita berdoa meminta sesuatu, Tuhan sudah tahu apa yang kita inginkan. Sesederhana itu kan?  Seorang sahabat yang pernah saya ajak diskusi mengenai hal ini menertawakan dan mengatakan saya mungkin sudah gila karena telah mempertanyakan doa. Menurutnya mempertanyakan doa sama dengan mempertanyakan keberadaan Tuhan. Saya mau jadi atheis, begitu tuduhnya. Seolah tak ingin saya jadi ‘tersesat’ sahabat saya itu lantas menjelaskan, doa itu cara manusia ‘bermesraan’ dengan Tuhannya. Sekaligus aktivitas yang mengingatkan manusia bahwa dia hanyalah hamba yang penuh kelemahan dan kepada Tuhan kemudian dia meminta kekuatan. Tapi ‘penasaran’ saya tentang doa tak juga...

Hidup yang mengalir saja, tanpa target manis-manis ini ternyata juga bisa menyenangkan. Tujuannya bukan lagi bahagia atau tidak bahagia. Namun bertahan sekuat-kuatnya, setenang-tenangnya.

Di setiap kehilangan aku selalu belajar hal baru.  Tentang kembali berdamai dengan hati yang patah, mencoba memaafkan  meski tetap tidak mudah dan kembali ikhlas. Poin terakhir mungkin yang paling sulit di antaranya. Bisa jadi kau memaafkannya tapi pikiranmu tidak akan bisa melupakannnya. Itu kenapa orang ikhlas berjarak sangat dekat Tuhannya yang bahkan setan saja tidak berani menggoda. Kalau Nadin Amizah merayakan perpisahan dengan sorai karena pernah bertemu.  Aku sebaliknya.  Aku memilih tidak perlu kembali menyapa bahkan untuk sekedar berbasa-basi. Tidak perlu menangisi orang yang memang ingin pergi. Tapi di kehilangan kali ini berbeda.  Aku menerima kekalahan ini dengan rasa lapang, tanpa perlu menyalahkan siapapun.  Apabila rasa sakit itu terasa, biar diri sendiri saja yang menanggungnya.  Karena sejak awal kita sendiri yang memilih arahnya, jadi kita harus siap dengan segala kondisinya. Biarkan bagian-bagian menyakitkan itu menjadi tanggungjawa...

Setiap waktu kuupayakan selalu dipenuhi banyak kebaikan. Belajar menikmati patah setiap kali aku meletakkan harap yang besar kepada manusia, agar isi kepala tidak terlalu berisik dan semua rasa sakit mereda.

Semakin dewasa keinginan menjadi lebih sederhana nggak sih? Kalau aku ditanya perihal apa yang paling aku inginkan saat ini maka akan kujawab, aku ingin melanjutkan hidup dengan segala syukur atas apa yang telah Allah titipkan kepadaku hingga saat ini. Tidak lagi muluk. Cukup saja juga tak apa. Memiliki pekerjaan, tubuh yang sehat dan tidak berpenyakit.  Tabungan yang belum terlalu banyak namun cukup untuk mewujudkan banyak kesukaan.  Masih memiliki Ibu yang doanya paling makbul dan keluarga yang selalu ada.   Aku berusaha tidak lagi membandingkan hidupku dengan orang lain serta apa-apa yang belum kumiliki. Aku menerima semua kesedihan dan kebahagiaan yang Allah takdirkan untuk hidupku.  Lebih banyak minta dikuatkan daripada dimudahkan. Tak berhitung lagi soal berapa kali menang atau kalah.  Semua aku terima dengan bahagia dan hati yang lapang.  Setiap waktu kuupayakan selalu dipenuhi banyak kebaikan.  Belajar menikmati patah setiap kali aku ...