Langsung ke konten utama

Seperti 'teguran' buatku, agar rajin menulis lagi. Sebuah bakat dari Tuhan yang tidak boleh disia-siakan


    Setelah sekian lama vakum menulis. Hari ini aku mendadak dapat sedikit  (((teguran))).  Ya..seperti ditegur untuk lebih banyak waktu buat menulis. Sejak pensiun dari dunia jurnalistik 5 tahun jadi pasif nulis. Alasannya apalagi kalau bukan mager, moody dan 'kroni-kroninya' (alasan klasik, bilang aja males.. hahahha). Jangan salah, menjadi jurnalis 10 tahun menjadi jurnalis bukan jaminan urusan  ini menjadi perkara mudah. Tetap saja, akan ada moment dimana rasa stuck menyerang, kehabisan ide, sampai ketik hapus berulangkali.

    Setiap penulis pasti tahu bagaimana menyiasatinya. Dan caranya akan beda-beda. Begitu juga aku. Sebagai penulis aku tipe 'Kebut Semalam'. Kalau lagi On Fire dalam 2 jam bisa jadi tuh satu essay 20.000 karakter. Sebaliknya kalau nggak, biar kata nongkrong di kafe dengan pemandangan seperti di Maldives ya nggak akan jadi apa-apa.

    Serandom itu ya?Memang. Itu juga alasan kenapa sekarang harga buku semakin mahal dan penulis e-book atau whatpadd bisa punya bayaran layaknya selebgram terkenal. Karena membuat ide cerita fiksi dan non fiksi itu bukan hal remeh. Kalau kata Raditya Dika,  seorang komika yang baik itu harus bisa menyajikan semua keresahan kehidupan sehari-sehari  dalam naskah 'stand up' nya. Semakin 'resah' maka akan semakin kompor gas (lucu, red). Begitu juga penulis, isi tulisannya harus related dengan dengan apa yang terjadi di kehidupan sesungguhnya agar lebih menarik. Boleh sedikit ditambah unsur-unsur dramatik yang penuh intrik.

   Tuh kan?Kalau lagi 'On Fire', epilognya saja bisa sampai tiga paragraf. Padahal inti membuat tulisan ini karena keponakan aku ( Kanaya, red) dapat Juara 2 Lomba Menulis di Sekolahnya. Eh malah ngalor-ngidul nostalgila. 


    Ya, sebelum mengirimkan karya tulisnya ke sekolah, Kanaya sempat sharing ke aku soal tulisannya. Awalnya kupikir itu tugas bahasa biasa, ternyata dilombakan dengan penjurian yang juga sangat serius karena didukung para ahli di bidangnya. Surprise banget. Nggak ada ekspetasi apa-apa. Saat ngedit tulisan Kanaya aku juga berusaha sesederhana mungkin menggunakan diksi dan istilah-istilah. Agar tulisan itu tetap seperti tulisan awal Kanaya  hanya ada beberapa editing agar tulisan lebih menarik.

Siapa sangka dapat juara dua. Padahal proses editingnya juga dari telepon seluler. Amazing bukan? Aku mungkin  satu-satunya penulis yang nggak punya laptop mumpuni. Selama jadi jurnalis aku juga lebih suka mengetik melalui Blackberry atau Android


    Aneh? Banget. Meski demikian saat menjadi jurnalis dahulu naskah saya selalu menjadi pilihan utama tulisan Headlines atau cerita cover lho. Gimana kalau ngetiknya pakai macbook? Mungkin bisa dapat penghargaan sekelas Pulitzer atau Nobel Prize in Literature ya?


   Nah kemenangan Kanaya ini yang aku maksud seperti 'teguran' buatku, agar rajin menulis lagi. Sebuah bakat dari Tuhan yang tidak boleh disia-siakan. Kalau dulu saat jadi jurnalis, alasan nggak produktif berkaryanya karena tiap hari bikin berita. Sekarang alasannya apa?Sibuk cari cuanlah. hahah.


    Padahal menulis tuh punya banyak manfaat lho, bahkan bagi kesehatan mental berbagai bentuk menulis banyak digunakan para ahli untuk membantu menyembuhkan luka batin akibat stress dan trauma. Bahkan dibeberapa penelitian, orang yang suka menulis lebih tidak mudah pikun daripada yang tidak.


    Baiklah sepertinya harus mulai dibiasakan lebih sering meluangkan waktu untuk menulis. Mungkin beberapa tahun belakangan lebih banyak stress karena jarang menulis ya?Atau saatnya beli laptop baru ya biar lebih semangat?Finally punya alasan. heheh.

Terima kasih Kanaya sudah membuat aku jadi punya alasan untuk produktif menulis lagi. Sebuah kegiatan yang dulu sempat menghidupiku serta memberiku banyak pelajaran hidup sangat berharga.

    Jadi ingat nasihat luar biasa  dari almarhum Eyang Pramoedya Ananta Toer "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah".


      Mari kembali rajin menulis...


Surabaya ,28 Oktober 2021
    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

doa itu adalah benda, yaitu gelombang energi quantum yang disebut pikiran dan perasaan dan keduanya merupakan kata benda...

....Aku dekat..Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku (QS.Al Baqarah :186) Saya sering bertanya dalam hati, kenapa kita harus repot berdoa dan dalam doa itu kita menjelaskan pada Tuhan apa yang kita mau? Bukankah Tuhan Mahatahu? Seharusnya aktivitas berdoa itu tidak perlu ada, karena tanpa kita berdoa meminta sesuatu, Tuhan sudah tahu apa yang kita inginkan. Sesederhana itu kan?  Seorang sahabat yang pernah saya ajak diskusi mengenai hal ini menertawakan dan mengatakan saya mungkin sudah gila karena telah mempertanyakan doa. Menurutnya mempertanyakan doa sama dengan mempertanyakan keberadaan Tuhan. Saya mau jadi atheis, begitu tuduhnya. Seolah tak ingin saya jadi ‘tersesat’ sahabat saya itu lantas menjelaskan, doa itu cara manusia ‘bermesraan’ dengan Tuhannya. Sekaligus aktivitas yang mengingatkan manusia bahwa dia hanyalah hamba yang penuh kelemahan dan kepada Tuhan kemudian dia meminta kekuatan. Tapi ‘penasaran’ saya tentang doa tak juga...

Hidup yang mengalir saja, tanpa target manis-manis ini ternyata juga bisa menyenangkan. Tujuannya bukan lagi bahagia atau tidak bahagia. Namun bertahan sekuat-kuatnya, setenang-tenangnya.

Di setiap kehilangan aku selalu belajar hal baru.  Tentang kembali berdamai dengan hati yang patah, mencoba memaafkan  meski tetap tidak mudah dan kembali ikhlas. Poin terakhir mungkin yang paling sulit di antaranya. Bisa jadi kau memaafkannya tapi pikiranmu tidak akan bisa melupakannnya. Itu kenapa orang ikhlas berjarak sangat dekat Tuhannya yang bahkan setan saja tidak berani menggoda. Kalau Nadin Amizah merayakan perpisahan dengan sorai karena pernah bertemu.  Aku sebaliknya.  Aku memilih tidak perlu kembali menyapa bahkan untuk sekedar berbasa-basi. Tidak perlu menangisi orang yang memang ingin pergi. Tapi di kehilangan kali ini berbeda.  Aku menerima kekalahan ini dengan rasa lapang, tanpa perlu menyalahkan siapapun.  Apabila rasa sakit itu terasa, biar diri sendiri saja yang menanggungnya.  Karena sejak awal kita sendiri yang memilih arahnya, jadi kita harus siap dengan segala kondisinya. Biarkan bagian-bagian menyakitkan itu menjadi tanggungjawa...

Setiap waktu kuupayakan selalu dipenuhi banyak kebaikan. Belajar menikmati patah setiap kali aku meletakkan harap yang besar kepada manusia, agar isi kepala tidak terlalu berisik dan semua rasa sakit mereda.

Semakin dewasa keinginan menjadi lebih sederhana nggak sih? Kalau aku ditanya perihal apa yang paling aku inginkan saat ini maka akan kujawab, aku ingin melanjutkan hidup dengan segala syukur atas apa yang telah Allah titipkan kepadaku hingga saat ini. Tidak lagi muluk. Cukup saja juga tak apa. Memiliki pekerjaan, tubuh yang sehat dan tidak berpenyakit.  Tabungan yang belum terlalu banyak namun cukup untuk mewujudkan banyak kesukaan.  Masih memiliki Ibu yang doanya paling makbul dan keluarga yang selalu ada.   Aku berusaha tidak lagi membandingkan hidupku dengan orang lain serta apa-apa yang belum kumiliki. Aku menerima semua kesedihan dan kebahagiaan yang Allah takdirkan untuk hidupku.  Lebih banyak minta dikuatkan daripada dimudahkan. Tak berhitung lagi soal berapa kali menang atau kalah.  Semua aku terima dengan bahagia dan hati yang lapang.  Setiap waktu kuupayakan selalu dipenuhi banyak kebaikan.  Belajar menikmati patah setiap kali aku ...