Langsung ke konten utama

Saat itu aku baru tahu, bagaimana merelakan tanpa merasa kehilangan? Rasanya seperti menangis tanpa air mata. Sesak dan pilu. Kamu satu-satunya laki-laki yang aku doakan dalam setiap lima waktuku, tahajud, juga istikharahku. Kamu yang selalu menjadi aaminku yang paling serius. Tapi akhirnya kamu membuangku...

"Kalau Tuhan sudah kasih tanda titik, 
seharusnya kamu tak perlu lagi memaksa dengan tanda tanya"

Salah satu kalimat yang membuatku tersadar dan berhenti meratap. Malam itu ketika kau berpesan untuk menjaga diriku baik-baik, aku tahu itu bukan hanya pesan pamitan tapi juga keputusan bahwa bukan aku yang kau pilih. Seharusnya aku sudah terbiasa menghadapi sifatmu yang abu-abu, seharusnya aku pun sadar, aku hanya persinggahan takkan pernah menjadi tujuanmu. 

Namun entah kenapa malam itu hatiku meradang, asam lambungku juga kambuh sampai aku harus masuk UGD (lagi), padahal berbulan-bulan aku berhenti minum obat, terakhir setelah Desember kamu kembali hilang. 

Tapi, kali ini aku benar-benar kepayahan, dan kehilangan kendali atas diriku sendiri.
Saat itu aku baru tahu, bagaimana merelakan tanpa merasa kehilangan?
Rasanya seperti menangis tanpa air mata. Sesak dan pilu.

Kamu satu-satunya laki-laki yang aku doakan dalam setiap lima waktuku, tahajud, juga istikharahku. Kamu yang selalu menjadi aaminku yang paling serius. 
Kamu membuangku, tapi kamu juga membuatku jadi lebih dekat dengan Tuhanku. 
Kamu sejahat itu tapi Allah tidak pernah memberiku alasan untuk membencimu.
Aku masih mendoakanmu. Namamu tetap jadi topik utama dalam setiap perbincangan dengan Allah. Kali ini bukan untuk disatukan melainkan diiklaskan. 

Izinkan juga sedikit lagi aku menulis perihal kita.
Entah kapan kamu membaca ini, tak perlu merasa terlalu bersalah. 
Aku sudah baik-baik saja.
Aku kini sudah siap dan tak lagi cemas perkara ditinggalkan.
Kisah kita sepertinya memang dikemas ambigu, dalam haru dan ragu yang tak menentu. 
Hingga sampai di batas akhir membiarkan kita semakin jauh.

Sebelum kebisuan itu benar-benar menjelma, aku ingin mengatakan bahwa tulisan ini sekaligus sorai perayaan, bahwa ada yang mencintaimu dengan keterlaluan. Tapi kini sudah Usai. Mari menjalani hidup sendiri-sendiri. Apapun alasannya tak perlu kembali dan mencari. Please jangan balik, mari menjadi asing satu sama lain.









Komentar

Postingan populer dari blog ini

doa itu adalah benda, yaitu gelombang energi quantum yang disebut pikiran dan perasaan dan keduanya merupakan kata benda...

....Aku dekat..Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku (QS.Al Baqarah :186) Saya sering bertanya dalam hati, kenapa kita harus repot berdoa dan dalam doa itu kita menjelaskan pada Tuhan apa yang kita mau? Bukankah Tuhan Mahatahu? Seharusnya aktivitas berdoa itu tidak perlu ada, karena tanpa kita berdoa meminta sesuatu, Tuhan sudah tahu apa yang kita inginkan. Sesederhana itu kan?  Seorang sahabat yang pernah saya ajak diskusi mengenai hal ini menertawakan dan mengatakan saya mungkin sudah gila karena telah mempertanyakan doa. Menurutnya mempertanyakan doa sama dengan mempertanyakan keberadaan Tuhan. Saya mau jadi atheis, begitu tuduhnya. Seolah tak ingin saya jadi ‘tersesat’ sahabat saya itu lantas menjelaskan, doa itu cara manusia ‘bermesraan’ dengan Tuhannya. Sekaligus aktivitas yang mengingatkan manusia bahwa dia hanyalah hamba yang penuh kelemahan dan kepada Tuhan kemudian dia meminta kekuatan. Tapi ‘penasaran’ saya tentang doa tak juga...

Hidup yang mengalir saja, tanpa target manis-manis ini ternyata juga bisa menyenangkan. Tujuannya bukan lagi bahagia atau tidak bahagia. Namun bertahan sekuat-kuatnya, setenang-tenangnya.

Di setiap kehilangan aku selalu belajar hal baru.  Tentang kembali berdamai dengan hati yang patah, mencoba memaafkan  meski tetap tidak mudah dan kembali ikhlas. Poin terakhir mungkin yang paling sulit di antaranya. Bisa jadi kau memaafkannya tapi pikiranmu tidak akan bisa melupakannnya. Itu kenapa orang ikhlas berjarak sangat dekat Tuhannya yang bahkan setan saja tidak berani menggoda. Kalau Nadin Amizah merayakan perpisahan dengan sorai karena pernah bertemu.  Aku sebaliknya.  Aku memilih tidak perlu kembali menyapa bahkan untuk sekedar berbasa-basi. Tidak perlu menangisi orang yang memang ingin pergi. Tapi di kehilangan kali ini berbeda.  Aku menerima kekalahan ini dengan rasa lapang, tanpa perlu menyalahkan siapapun.  Apabila rasa sakit itu terasa, biar diri sendiri saja yang menanggungnya.  Karena sejak awal kita sendiri yang memilih arahnya, jadi kita harus siap dengan segala kondisinya. Biarkan bagian-bagian menyakitkan itu menjadi tanggungjawa...

Setiap waktu kuupayakan selalu dipenuhi banyak kebaikan. Belajar menikmati patah setiap kali aku meletakkan harap yang besar kepada manusia, agar isi kepala tidak terlalu berisik dan semua rasa sakit mereda.

Semakin dewasa keinginan menjadi lebih sederhana nggak sih? Kalau aku ditanya perihal apa yang paling aku inginkan saat ini maka akan kujawab, aku ingin melanjutkan hidup dengan segala syukur atas apa yang telah Allah titipkan kepadaku hingga saat ini. Tidak lagi muluk. Cukup saja juga tak apa. Memiliki pekerjaan, tubuh yang sehat dan tidak berpenyakit.  Tabungan yang belum terlalu banyak namun cukup untuk mewujudkan banyak kesukaan.  Masih memiliki Ibu yang doanya paling makbul dan keluarga yang selalu ada.   Aku berusaha tidak lagi membandingkan hidupku dengan orang lain serta apa-apa yang belum kumiliki. Aku menerima semua kesedihan dan kebahagiaan yang Allah takdirkan untuk hidupku.  Lebih banyak minta dikuatkan daripada dimudahkan. Tak berhitung lagi soal berapa kali menang atau kalah.  Semua aku terima dengan bahagia dan hati yang lapang.  Setiap waktu kuupayakan selalu dipenuhi banyak kebaikan.  Belajar menikmati patah setiap kali aku ...